Ekonomi

Industri Manufaktur dan Syarat Revolusi ala Marx-Engels

Industri Manufaktur dan Syarat Revolusi ala Marx-Engels
Marx-Engels, dua pemikir sosial yang menyebut bahwa revolusi hanya mungkin jika kondisi material memungkinkan. (Daspublika.com/foto: Wikipedia)

Daspublika.com - Dalam The Communist Manifesto, Karl Marx dan Friedrich Engels menegaskan bahwa revolusi tidak terjadi secara kebetulan, melainkan diciptakan.

Ini bukan sekadar retorika ideologis, melainkan seruan sistematis terhadap pentingnya membangun syarat-syarat material yang memungkinkan perubahan besar terjadi.

Ketika kita berbicara tentang revolusi industri—terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia—pertanyaan pentingnya bukan hanya bagaimana berkembang, melainkan siapa yang mengarahkan dan untuk siapa industri itu tumbuh.

Industri manufaktur adalah tulang punggung industrialisasi. Namun sayangnya, sejak era deregulasi dan liberalisasi ekonomi, negara-negara berkembang cenderung hanya menjadi pasar dan tukang jahit bagi negara maju.

Alih-alih membangun kapasitas nasional, banyak dari kita terjebak dalam rantai pasok global yang eksploitatif. Marx menyebut ini sebagai bentuk perampasan nilai lebih (surplus value)—di mana buruh lokal menghasilkan nilai, namun yang menikmatinya adalah kapital global.

Dalam konteks ini, syarat-syarat material revolusi yang disebut Marx-Engels menjadi sangat relevan.

Pertama, harus ada konsentrasi produksi dan akumulasi alat-alat produksi di tangan kapitalis, yang menciptakan kontradiksi antara tenaga kerja dan pemilik modal.

Kedua, buruh manufaktur harus menyadari bahwa mereka bukan sekadar individu yang mencari nafkah, melainkan bagian dari sistem eksploitasi yang lebih besar.

Ketiga, krisis overproduksi dan pengangguran struktural menjadi latar sosial yang kerap memicu gelombang revolusi.

Ketiga syarat ini sebenarnya telah mulai terbentuk di banyak kawasan industri Indonesia—Cikarang, Karawang, hingga Batam. Namun, belum ada upaya serius untuk membentuk kesadaran kolektif yang mampu mengubah kontradiksi itu menjadi kekuatan transformasional.

Jika kita ingin melihat transformasi sejati dari industrialisasi, maka revolusi itu harus diciptakan—bukan dalam arti kekerasan, melainkan sebagai proyek sadar untuk membangun kemandirian industri yang berkeadilan.

Negara tidak bisa hanya menjadi fasilitator pasar bebas, melainkan harus menjadi motor penggerak manufaktur nasional yang memihak buruh, petani, dan produsen kecil.

Ini berarti memutus ketergantungan pada investasi asing yang tidak mentransfer teknologi, mendorong koperasi industri dan manufaktur rakyat, serta memberi ruang bagi riset teknologi dan rekayasa produksi yang dikuasai oleh komunitas lokal.

Marx dan Engels menyebut bahwa revolusi hanya mungkin jika kondisi material memungkinkan. Maka tugas hari ini adalah menciptakan kondisi itu.

Revolusi industri bukan sekadar soal mesin dan pabrik, tapi tentang siapa yang mengendalikan alat produksinya, dan siapa yang diuntungkan dari hasil kerjanya.

Jika industri manufaktur nasional terus dikuasai oleh modal asing dan elite birokrasi, maka revolusi hanyalah dongeng utopis.

Namun jika rakyat—melalui organisasi, koperasi, serikat, dan komunitas teknologi—mampu merebut posisi strategis dalam rantai produksi, maka revolusi bukan hanya mungkin, tapi niscaya. (*)

0 Komentar :

Belum ada komentar.