Daspublika.com - Konon katanya kita ini negara merdeka. Tapi anehnya, soal hukum pidana saja masih nyender ke Belanda. KUHAP dan KUHP yang jadi kitab suci penegak hukum di negeri ini, tak lain adalah warisan kolonial yang sejak zaman tanam paksa sudah dikemas rapi oleh para ahli hukum Rotterdam sana. Dulu kita terpaksa tunduk karena dijajah. Sekarang? Kita revisi dengan bangga… tapi masih juga keblinger.
Revisi RUU KUHAP katanya demi “kontekstualisasi ke-Indonesiaan”. Bagus. Tapi ketika pasal-pasal baru muncul justru makin mengaburkan keadilan, publik pun mengeluh: ini hukum negara atau hukum negara yang masih belum move on dari sistem penjajah?
Yang kontra bilang: ini bentuk regresi. Demokrasi mundur. Wewenang penegak hukum terlalu besar, ruang privat warga makin kecil. Lha yang pro malah bilang: ini justru bentuk kemajuan hukum! Tapi bukankah hukum yang terlalu maju, tanpa kedewasaan kultur, hanya akan menjadi alat tukang garuk yang makin sopan dalam menindas?
Padahal jauh sebelum VOC bercokol, leluhur kita punya sistem hukum sendiri—hukum adat. Tidak tercetak di atas kertas, tapi tertanam dalam rasa. Kalau ada yang mencuri, tak langsung dibui; tapi dibicarakan di balai desa, disaksikan leluhur dan sesepuh, dengan nilai-nilai gotong royong dan pemulihan hubungan.
Bahkan, dalam beberapa masyarakat adat, seorang pelaku dihukum agar jiwanya kembali seimbang, bukan sekadar untuk dihancurkan martabatnya. Bandingkan dengan sekarang: hukum pidana modern yang katanya netral, malah sering jadi ladang bisnis atau senjata politik.
Ironisnya, negara asal KUHAP—Belanda—justru sekarang bergerak ke arah yang benar-benar berbeda. Mereka tak cuma merevisi hukum, tapi juga paradigma keadilannya.
Sejak 2014, Belanda menutup lebih dari 20 penjara karena jumlah pelanggaran hukum terus menurun drastis. Bahkan, beberapa penjara disewakan ke Norwegia dan Belgia karena tak lagi terpakai. Mereka sadar: penjara bukan jawaban utama.
Mereka menggelontorkan dana besar ke pendidikan, kesehatan mental, rehabilitasi sosial, hingga kebijakan yang mengedepankan pencegahan dan reintegrasi ketimbang sekadar penghukuman.
Kita? Masih sibuk bertengkar soal pasal penyadapan, penahanan, dan siapa yang boleh mengakses data digital kita.
Sementara di belahan dunia tempat hukum kolonial itu lahir, mereka sudah lompat jauh. Seolah mereka berkata: “Nih, warisan hukum kolonial buat kalian. Kami sudah tak pakai, tapi silakan kalian daur ulang semau kalian.”
Ini seperti kita sedang menyetir mobil tua warisan penjajah, lalu mengganti stiker di kap mesin dengan bendera merah putih, berharap kecepatannya bertambah dan bensinnya irit. Lupa, mesinnya sudah aus. Tapi beli mobil baru juga takut: nanti dibilang tak menghargai sejarah.
Begitulah nasib bangsa yang selalu setengah-setengah. Maju kena, karena perubahan hukum malah jadi alat kekuasaan. Mundur kena, karena bertahan dengan sistem lama yang usang dan tak relevan. Mau netral pun tak bisa, karena hukum tak pernah steril dari kekuasaan.
Maka kalau ditanya, “solusinya apa?”, jawabannya tidak bisa sekadar mengganti pasal demi pasal layaknya ganti oli motor tua.
Ini bukan soal redaksional semata, tapi soal arah berpikir kita sebagai bangsa. Hukum tidak bisa hanya didandani supaya tampak modern, tapi tetap membawa watak kolonial di jiwanya.
Yang kita butuhkan adalah keberanian untuk membongkar fondasi hukum yang terlalu lama membusuk dalam birokrasi dan politik kepentingan, lalu menyusun ulang dari cara pandang yang benar-benar berpihak pada manusia dan masyarakat.
Pertama-tama, kita harus berani meninggalkan logika hukum yang hanya sibuk menghukum. Sudah saatnya hukum kita mengedepankan pemulihan, bukan pembalasan. Hukum yang baik bukan yang membuat orang takut, tapi yang membuat orang sadar dan bertanggung jawab.
Seperti yang dilakukan Belanda—yang kita warisi sistem hukumnya tapi kita abaikan arah evolusinya—mereka membangun sistem hukum yang berfokus pada pencegahan, edukasi, rehabilitasi, dan reintegrasi sosial.
Mereka menyadari bahwa lebih murah dan lebih adil membina daripada memenjarakan. Sementara kita, masih terobsesi pada berapa lama seseorang harus dikurung, bukan pada bagaimana mereka bisa kembali berguna.
Kedua, sudah waktunya negara membuka mata pada kekayaan hukum adat yang selama ini hanya dianggap pajangan budaya.
Di berbagai penjuru Nusantara, hukum adat telah terbukti mampu menjaga harmoni sosial lebih baik dari hukum formal yang datang dari luar.
Di sana, keadilan tidak dibatasi pada tafsir pasal, tetapi hidup dalam rasa, musyawarah, dan nilai kolektif. Kita tidak perlu menciptakan sistem hukum baru dari nol.
Kita hanya perlu mengakui bahwa sebelum Belanda datang membawa KUHAP, kita sudah punya prinsip-prinsip keadilan yang membumi. Masalahnya, selama ini negara terlalu angkuh untuk belajar dari leluhurnya sendiri.
Dan yang paling penting, pendidikan hukum bukan hanya milik kampus dan ruang sidang. Ia harus turun ke desa, ke pasar, ke sekolah, ke ruang-ruang kecil di mana rakyat hidup dan bersengketa.
Selama hukum masih jadi barang mewah yang hanya dimengerti oleh segelintir elit, maka keadilan akan terus terasa seperti tamu tak diundang yang hanya datang saat ada yang mampu membayar ongkosnya.
Tentu, perubahan ini tidak bisa instan. Tapi jika revisi KUHAP hanya jadi kosmetik untuk mempertahankan sistem hukum lama yang makin keropos, maka kita hanya memperpanjang ilusi. Kita tak sedang mereformasi hukum, kita hanya sedang mengecat ulang rumah tua dengan warna baru, padahal pondasinya sudah nyaris ambruk.
Hukum yang kita butuhkan bukan hukum yang mewah, tapi yang memihak. Bukan hukum yang berwibawa karena pasalnya tebal, tapi yang adil karena hatinya hidup.
Dan itu hanya bisa terjadi jika negara benar-benar memilih untuk merdeka: bukan hanya dari penjajah yang pergi, tapi dari cara berpikir hukum yang masih kolonial hingga hari ini. (*)
0 Komentar :
Belum ada komentar.