Daspublika.com - Peran agama dalam kolonialisme dan pembangunan bangsa kerap menjadi bahan perdebatan. Ada anggapan bahwa negara-negara Barat menggunakan agama sebagai instrumen kolonialisme di Asia dan Afrika, sementara negara-negara di kawasan ini menjadikan agama sebagai alat utama untuk mencapai kemajuan. Namun, narasi ini sering kali menyederhanakan realitas sejarah yang lebih kompleks.
Kolonialisme Eropa di Asia dan Afrika pada hakikatnya berakar pada eksploitasi ekonomi. Motif utama mereka adalah menguasai sumber daya alam, tenaga kerja murah, serta jalur perdagangan yang menguntungkan.
Memang benar bahwa agama sering kali digunakan untuk melegitimasi dominasi kolonial, tetapi ini lebih sebagai alat justifikasi ketimbang tujuan utama.
Sebagai contoh, penjajahan di Amerika Latin oleh Spanyol dan Portugal membawa misi penyebaran agama Katolik. Namun, di balik retorika keagamaan, kolonialisasi mereka lebih ditujukan untuk mengeruk kekayaan emas dan perak.
Begitu pula di Asia dan Afrika, di mana misionaris sering kali mendampingi ekspansi kolonial, tetapi eksploitasi ekonomi tetap menjadi fokus utama.
VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) di Nusantara adalah bukti nyata bagaimana kolonialisme lebih berkaitan dengan perdagangan dan eksploitasi daripada penyebaran agama.
VOC bukan lembaga misionaris, melainkan korporasi dagang yang bertujuan memonopoli perdagangan rempah-rempah dengan cara apa pun, termasuk korupsi dan kekerasan.
Sebaliknya, negara-negara Asia dan Afrika yang ingin menyaingi Barat tidak hanya mengandalkan agama, tetapi melakukan reformasi besar-besaran di berbagai sektor.
Kemajuan yang dicapai negara-negara ini lebih banyak dipengaruhi oleh kebijakan ekonomi, pembangunan infrastruktur, serta pendidikan.
Jepang misalnya, melalui Restorasi Meiji (1868), berhasil menjadi kekuatan industri besar bukan karena faktor agama, tetapi karena modernisasi ekonomi, teknologi, dan militer.
Begitu pula Korea Selatan dan China yang bangkit melalui industrialisasi dan kebijakan pembangunan ekonomi yang agresif.
Di dunia Islam, negara seperti Turki di bawah Mustafa Kemal Atatürk berusaha membangun negara modern dengan menitikberatkan pada reformasi sosial dan ekonomi, bukan semata-mata agama.
Negara-negara di Timur Tengah yang kaya akan minyak juga tidak maju karena agama, melainkan karena pengelolaan sumber daya dan investasi dalam sektor teknologi serta pendidikan.
Agama memang memiliki peran dalam sejarah kolonialisme dan pembangunan bangsa, tetapi tidak bisa dijadikan faktor utama dalam menjelaskan keduanya.
Kolonialisme lebih didorong oleh motif ekonomi daripada misi keagamaan, sementara modernisasi di Asia dan Afrika lebih banyak bergantung pada strategi pembangunan yang berorientasi pada reformasi sosial-ekonomi.
Melihat sejarah dengan kacamata yang lebih luas memungkinkan kita untuk memahami bahwa kemajuan suatu bangsa tidak hanya ditentukan oleh agama, tetapi oleh bagaimana mereka mengelola ekonomi, politik, dan sosialnya secara efektif. (*)
0 Komentar :
Belum ada komentar.