Politik

Pembangunan Garut: Kemajuan untuk Siapa, Kerusakan untuk Siapa?

Pembangunan Garut: Kemajuan untuk Siapa, Kerusakan untuk Siapa?
Dera Hermana (Daspublika.com)

Oleh: Dera Hermana*

 

Di tengah gencarnya pembangunan infrastruktur dan geliat investasi daerah, Garut sedang menghadapi persoalan serius yang sering luput dari percakapan publik: krisis tata ruang dan kerusakan lingkungan hidup. Alih-alih menjadi alat untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat, pembangunan di banyak titik justru melahirkan ketimpangan ruang, konflik agraria, hingga degradasi ekosistem.

Tata ruang seharusnya menjadi panduan etis dan ekologis dalam proses pembangunan. Sayangnya, dalam praktiknya, rencana tata ruang sering kali disusun secara teknokratis, tertutup, dan tidak berpijak pada kebutuhan rakyat ataupun daya dukung lingkungan.

Banyak pembangunan yang dipaksakan masuk ke zona rawan bencana, kawasan resapan air, hingga lahan-lahan pertanian produktif yang menjadi sumber penghidupan masyarakat desa.

Contoh yang paling mencolok adalah ekspansi proyek properti dan kawasan wisata yang kerap menyerobot ruang hidup warga dan mengabaikan prinsip keberlanjutan. Di sisi lain, kebijakan pembangunan justru mempercepat konversi lahan pertanian menjadi kawasan komersial, mengancam ketahanan pangan lokal dan mempersempit akses petani terhadap tanah.

Kawasan utara Garut yang semestinya berperan sebagai daerah konservasi dan penyangga air, misalnya, kini terus ditekan oleh alih fungsi menjadi perumahan dan industri. Begitu juga kawasan selatan, yang rawan bencana geologis, tetapi tetap dijadikan lokasi investasi tanpa mitigasi risiko yang memadai.

Celakanya, pembangunan ini sering kali diklaim sebagai bagian dari “kemajuan” atau “pertumbuhan ekonomi daerah.” Padahal, jika ditilik lebih dalam, manfaatnya sering kali tidak dirasakan oleh masyarakat lokal, terutama mereka yang berada di lapisan bawah. Justru mereka yang paling terdampak oleh banjir, longsor, kekeringan, dan kehilangan akses ruang hidup.

Pembangunan yang tidak berbasis keadilan ekologis hanya akan menghasilkan ruang yang timpang: ruang-ruang mewah bagi segelintir elite, dan ruang-ruang terancam bagi mayoritas rakyat. Ini bukan sekadar soal teknis tata ruang, tapi soal arah politik pembangunan itu sendiri—apakah ia berpihak pada rakyat dan alam, atau tunduk pada logika kapital semata.

Pemerintah daerah perlu membuka ruang partisipasi publik yang sejati dalam perencanaan tata ruang dan pembangunan. Bukan partisipasi seremonial, tapi keterlibatan warga dalam setiap tahap pengambilan keputusan, termasuk dalam evaluasi proyek-proyek besar yang berpotensi merusak lingkungan.

Sudah waktunya kita keluar dari cara pandang pembangunan yang eksploitatif dan menggantinya dengan model pembangunan berbasis keseimbangan ekologis, kearifan lokal, dan keadilan sosial. Garut yang indah secara alamiah bukan untuk dijual, tetapi untuk dijaga bersama.

Jika pembangunan terus dijalankan tanpa arah yang berpihak pada kelestarian dan rakyat, maka yang dibangun hanyalah kehancuran yang ditunda. (*)

0 Komentar :

Belum ada komentar.