Opini

Populisme Dedi Mulyadi dan Ilusi Dekat dengan Rakyat

Populisme Dedi Mulyadi dan Ilusi Dekat dengan Rakyat
Dedi Mulyadi. (Foto: Beritasatu.com/imajinari.com/daspublika.com)

Daspublika.com - Dedi Mulyadi kembali jadi sorotan publik. Kali ini karena kebijakannya yang melarang sekolah di Jawa Barat menggelar study tour ke luar provinsi. Dukungan masyarakat luas mengalir deras. Para orang tua lega karena terbebas dari beban biaya yang seringkali memberatkan. “Akhirnya ada pemimpin yang mikirin isi dompet kami,” begitu kira-kira suara mayoritas.

Namun, di balik tepuk tangan itu, ada deretan wajah muram: sopir bus, agen travel, pedagang kecil, hingga UMKM pariwisata. Mereka kehilangan sumber nafkah tahunan dari rombongan anak sekolah. Di titik ini, tampak jelas wajah populisme: memberi ruang lega untuk banyak orang, tapi sekaligus menyingkirkan yang lain.

Bukan sekali ini Dedi Mulyadi memainkan pola tersebut. Sebelumnya, forum sekolah swasta sempat menggugat kebijakan PAPS (Pencegahan Anak Putus Sekolah) ke PTUN Bandung. Aturan maksimal 50 siswa per kelas dianggap memberatkan sekolah swasta. Gugatan akhirnya dicabut setelah pemerintah provinsi berjanji memetakan siswa tidak tertampung di negeri, lalu menyerahkan ke swasta. Selesai dengan damai, seakan badai hanya lewat sebentar.

Di sinilah kelihaian seorang pemimpin populis terlihat. Dedi tahu betul isu mana yang bisa memancing simpati publik. Ia cepat mengangkat isu populer, mengemasnya jadi kebijakan, lalu membiarkan simpati publik bekerja untuk memperkuat citranya. Bagi kelompok kecil yang merasa dirugikan, itu urusan lain.

Tentu, populisme bukanlah dosa. Dalam demokrasi, rakyat memang butuh pemimpin yang hadir, yang mau mendengar, yang tak segan turun ke bawah. Dalam hal ini, Dedi memainkan peran itu dengan sangat natural. Mungkin memang DNA politiknya ada di situ: meraih hati lewat simbol-simbol sederhana dan keputusan yang tampak membela rakyat kecil.

Namun persoalannya, populisme sering berhenti di permukaan. Larangan study tour bisa jadi solusi instan untuk mengurangi beban biaya orang tua. Tapi apakah ia menjawab persoalan utama pendidikan? Apakah ia memperbaiki mutu pembelajaran, kurikulum, dan fasilitas sekolah? Atau sekadar menggeser masalah tanpa menyentuh akar persoalan?

Populisme memberi rasa dekat, tapi kerap melahirkan ilusi. Publik dibuat merasa diperhatikan, meski substansi kebijakan tidak selalu hadir. Di sinilah tantangan bagi masyarakat: jangan berhenti di tepuk tangan. Apresiasi boleh, tapi kritik harus tetap berjalan.

Dedi Mulyadi, dengan segala kelihaian populisnya, bisa jadi sosok yang dibutuhkan untuk membuat rakyat merasa tidak ditinggalkan. Tapi kedekatan tanpa substansi hanya akan membuat rakyat tersenyum sesaat, lalu kembali menanggung beban yang sama.

Indonesia memang butuh pemimpin yang dekat dengan rakyat. Tapi lebih dari itu, kita butuh pemimpin yang berani mengambil keputusan tidak populer jika itu menyentuh akar masalah. Sebab kedekatan tanpa keberanian substansi hanya akan melahirkan ilusi.

Dan seperti kata satir lama: jangan sampai kita terlalu sibuk bertepuk tangan pada “pemimpin dekat rakyat”, sampai lupa bertanya — rakyat yang mana dulu?. (*)

0 Komentar :

Belum ada komentar.