Daspublika.com - Partai Rakyat Demokratik (PRD) pernah menjadi simbol perlawanan terhadap Orde Baru dan kapitalisme global di Indonesia. Dengan semangat revolusioner, PRD menempatkan dirinya sebagai partai yang membawa agenda perjuangan kelas, anti-imperialisme, dan keberpihakan mutlak terhadap rakyat tertindas. Namun, seiring waktu, PRD mengalami transformasi ideologi yang drastis, dari garis perjuangan radikal yang berbasis pada interpretasi progresif Pancasila hingga beralih ke sosial demokrasi yang lebih reformis dan kompromistis.
Perubahan ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah langkah ini merupakan bentuk adaptasi terhadap realitas politik, atau justru kemunduran dan pengkhianatan terhadap cita-cita awalnya? Mengapa PRD yang dahulu militan kini justru terpecah, kehilangan daya juangnya, dan bahkan mengalami kehancuran sebagai kekuatan politik alternatif?
PRD lahir dalam kondisi politik yang represif, di mana rezim Orde Baru memberangus segala bentuk oposisi. Dalam situasi ini, PRD tampil sebagai kekuatan politik yang berani melawan, dengan ideologi yang menekankan pada perjuangan kelas dan keadilan sosial. Dengan slogan perlawanan terhadap kapitalisme, imperialisme, dan militerisme, PRD menjadi ancaman bagi rezim yang berkuasa.
Pada masa awal reformasi, PRD tetap mempertahankan posisinya sebagai partai oposisi yang radikal. Berbagai gerakan massa yang mereka motori menunjukkan bahwa mereka bukan sekadar partai politik biasa, tetapi juga gerakan yang berakar pada perjuangan rakyat miskin, buruh, dan mahasiswa. Namun, situasi mulai berubah ketika PRD mulai terfragmentasi oleh faksi-faksi internal yang memiliki pendekatan berbeda dalam melihat strategi perjuangan politik.
Salah satu faktor utama yang menyebabkan kehancuran PRD adalah kecenderungan sebagian faksi dalam tubuh partai yang lebih memilih jalur kompromi ketimbang mempertahankan militansi awalnya. Di tengah dinamika politik Indonesia yang semakin dikendalikan oleh oligarki, sebagian elemen dalam PRD mulai mengadopsi strategi politik yang lebih pragmatis.
Alih-alih tetap konsisten dengan perjuangan kelas dan anti-imperialisme, mereka mulai melunak dan mengadopsi sosial demokrasi sebagai ideologi utama. Sosial demokrasi, meskipun masih memiliki unsur perjuangan sosial, lebih bersifat reformis dibandingkan revolusioner. Strategi ini pada akhirnya membuat PRD kehilangan identitasnya sebagai kekuatan yang benar-benar menantang status quo.
Perpecahan dalam tubuh PRD juga diperparah dengan semakin melemahnya basis massa mereka. Ketika perjuangan tidak lagi didasarkan pada militansi yang kuat, melainkan pada kompromi dengan sistem yang ada, dukungan terhadap PRD pun menurun. Basis buruh, tani, dan mahasiswa yang dulu menjadi tulang punggung partai mulai meragukan arah perjuangan mereka.
Adopsi sosial demokrasi oleh PRD bukan sekadar perubahan strategi, tetapi juga mengubah cara partai ini berinteraksi dengan kekuatan politik lain. Sebelumnya, PRD adalah simbol perlawanan yang tidak takut berbenturan dengan rezim. Namun, dengan bergesernya ideologi ke arah sosial demokrasi, PRD mulai masuk dalam pola politik yang lebih lunak dan akomodatif terhadap sistem yang sebelumnya mereka lawan.
Salah satu dampak utama dari pergeseran ini adalah hilangnya posisi PRD sebagai partai oposisi yang murni. Jika sebelumnya PRD menjadi garda depan dalam mengorganisir gerakan massa, kini partai ini lebih banyak terjebak dalam politik elektoral yang tidak memberikan perubahan signifikan bagi rakyat. Alih-alih menjadi ancaman bagi oligarki, PRD justru semakin terserap dalam sistem yang mereka kritik sejak awal.
Kompromi yang berlebihan pada akhirnya membuat PRD tidak lagi relevan sebagai kekuatan alternatif. Mereka yang tetap bertahan dalam jalur perjuangan radikal akhirnya tersingkir atau memilih mundur, sementara faksi yang lebih moderat mengendalikan arah partai. Dalam kondisi ini, PRD yang berideologi Pancasila hancur, digantikan oleh PRD yang lebih mengutamakan strategi sosial demokrasi.
Kisah PRD menjadi pelajaran penting bagi gerakan politik alternatif di Indonesia. Tanpa keteguhan ideologi dan strategi yang jelas, sebuah gerakan bisa kehilangan arah dan akhirnya menjadi bagian dari sistem yang sebelumnya mereka lawan. Pergeseran dari radikalisme ke sosial demokrasi mungkin dianggap sebagai bentuk adaptasi politik, tetapi bagi sebagian besar pendukung awal PRD, ini adalah bentuk kemunduran dan pengkhianatan terhadap cita-cita perjuangan rakyat.
Hancurnya PRD bukan sekadar akibat tekanan eksternal dari rezim atau oligarki, tetapi juga hasil dari kompromi internal yang melemahkan daya juangnya. Faksi-faksi yang lebih memilih jalur reformis dan kompromistis berkontribusi besar pada degradasi ideologi dan arah perjuangan partai.
Kini, pertanyaan terbesar bagi gerakan rakyat di Indonesia adalah: apakah masih ada ruang bagi politik yang benar-benar berbasis pada perjuangan kelas dan anti-imperialisme, ataukah semua gerakan pada akhirnya akan terserap dalam kompromi yang melemahkan? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan arah masa depan politik alternatif di Indonesia. (*)
0 Komentar :
Belum ada komentar.