Opini

Rp1.000 Triliun Hilang: Mimpi Besar yang Dicuri Diam-Diam

Rp1.000 Triliun Hilang: Mimpi Besar yang Dicuri Diam-Diam
Eri Rahmat Haidir. (Daspublika.com)

Oleh: Eri Rahmat Haidir*

Jika dalam kurun waktu lima tahun, para bos anak perusahaan Pertamina dan koleganya bisa menguras uang negara hampir Rp1.000 triliun, maka jelas: uang di negeri ini sebenarnya amat sangat banyak.

Begitu banyaknya, hingga bisa disembunyikan di luar negeri, diubah jadi aset mewah, atau diputar lewat skema-skema licin tanpa harus menyentuh rasa bersalah.

Sementara rakyat? Masih antre di puskesmas, menahan panas dan keluhan sambil menggenggam kartu BPJS yang sudah lusuh.

Tapi… bagaimana jika uang sebanyak itu benar-benar dipakai untuk kepentingan rakyat? Mari kita berandai-andai sejenak—bukan untuk melamun kosong, tapi untuk menakar betapa besar harapan yang dirampas.

Bayangkan di bidang pendidikan, satu juta sekolah baru bisa dibangun dengan fasilitas lengkap. Anak-anak tidak lagi belajar sambil menampung air bocor dari atap.

100 juta mahasiswa bisa kuliah gratis—tanpa perlu galang donasi atau terpaksa berhenti kuliah karena tak mampu bayar UKT.

Lima juta guru bisa digaji layak dan diberi pelatihan rutin selama sepuluh tahun penuh. Pendidikan bukan lagi beban, melainkan investasi nyata bangsa.

Kesehatan? 100.000 puskesmas dan rumah sakit bisa dibangun di berbagai pelosok.

Setiap warga negara bisa mendapat jaminan kesehatan gratis selama lima hingga sepuluh tahun.

Sepuluh juta tenaga medis bisa digaji dengan layak, diberi insentif, bukan cuma semangat dan tepuk tangan saat pandemi.

Infrastruktur?
50.000 kilometer jalan tol baru bisa dibangun. Indonesia bisa benar-benar tersambung dari Sabang sampai Merauke, tak hanya dalam lirik lagu.
Transportasi massal modern bisa hadir di 100 kota besar dan menengah.

Bahkan satu juta rumah layak huni bisa dibangun bagi rakyat miskin—karena rumah bukan hak istimewa, tapi kebutuhan dasar.

Untuk energi dan lingkungan, uang itu bisa membangun 5.000 Pembangkit Listrik Tenaga Surya di desa-desa terpencil.

Limbah bisa dikelola dengan serius, kota-kota dihijaukan kembali, dan konservasi hutan dan laut dilakukan dengan pendanaan berkelanjutan.

Dalam ekonomi kerakyatan, 100 juta pelaku UMKM bisa diberi modal Rp10 juta. BUMDes dan koperasi desa bisa dihidupkan dan dikuatkan.

Subsidi pangan dan BBM bisa bertahan bertahun-tahun, mengurangi beban masyarakat bawah yang tak pernah benar-benar “pulih” dari krisis.

Teknologi dan digitalisasi?
Internet cepat dan gratis bisa disediakan untuk semua sekolah dan desa.

Startup lokal bisa didorong hingga menjadi unicorn baru, tanpa harus ke Silicon Valley atau numpang nama konglomerat.

Dengan uang sebanyak itu, Indonesia sebenarnya bisa meloncat jauh dalam 10 sampai 20 tahun. Bisa sejajar—atau bahkan melampaui—negara-negara maju di beberapa sektor.

Terbayang?
Tentu bisa.
Tapi kenyataannya, Rp1.000 triliun itu sudah hilang dalam kabut kasus, sidang-sidang panjang, dan berita yang hanya heboh sesaat.

Namun, jangan pernah berhenti membayangkan. Karena kadang, harapan dimulai dari imajinasi yang tak padam.

Mari kita lanjutkan lamunan. Siapa tahu suatu hari nanti, lamunan itu menjadi kenyataan. (*)

*Penulis adalah pengamat kebijakan publik. Tinggal di Bandung.

0 Komentar :